Highlight
- Get link
- X
- Other Apps
Labels
Wouldn't Change A Thing
Aini
memainkan cangkir cokelat hangatnya dengan tangan kanan, sedangkan telunjuk
tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja dengan irama beraturan. Wajahnya terlihat
kusut sembari terus menatap jam tangannya lalu menggerutu dengan sebal. Sudah
satu jam dia duduk, mengamati orang yang datang dan pergi namun belum ada
seseorang datang untuknya. Aini sedang menanti kekasihnya, Dipta, dengan
kesabaran atas nama cinta.
Setiap malam minggu, selalu ada live music di Djendelo cafe yang tidak
terlalu sesak. Tempat favorit Aini merenung, mengumbar kebahagiaan atau
menutupi kesedihan. Selama dia dan Dipta tidak bersama, Aini menemukan sebuah
cafe yang membuatnya nyaman. Kali ini, dia ingin berbagi tempat dengan Dipta.
“Oke, lagu ini buat seorang sahabat perempuan saya, yang punya kenangan indah sama lagu ini..”
Lagu Somewhere Only We Knew dinyanyikan oleh laki-laki berkacamata dengan rambut yang sedikit dibuat acak-acakan. Memakai kemeja kebesaran yang kusut namun enak dilihat. Aini mengamati Doko, sahabatnya. Sudah beberapa bulan ini Doko rutin mengisi live music di malam minggu. Memandanginya lekat-lekat sambil tersenyum saat lagu favoritnya dinyanyikan, sampai suara Dipta mengagetkannya.
“Aini,
maaf aku terlambat..”
“Nggak
usah ngomong gitu, kaya anak SD minta ijin masuk kelas ke gurunya aja.”. Jawaban
Aini ketus, Dipta segera mengambil tempat di depan Aini lalu menggenggam
tangannya.
“Maaf
ya, sayang.. Macet banget Jogja kalau malam minggu. Tadi pulang praktek sore
banget soalnya.” Suara Dipta semakin memelan, sesal terlihat terselip di sana.
Aini
tahu Dipta sungguh-sungguh menyesal, tetapi amarah masih menguasai dirinya.
“Oke,
tempat ini keren juga. Aku baru tau ada kafe di atas toko buku..”
Dipta
mencoba mencairkan suasana, namun Aini tidak bergeming. Masih memandang keluar
jalan di mana kendaraan lalu lalang dengan tujuan masing-masing.
“Sayang,
sayang!”
Aini
menoleh lalu menatap Dipta dengan tajam.
“Kamu marah? Kamu
harusnya ngertiin aku dong. Aku sibuk, banyak praktek dan lain-lain, ya maaf
kalau aku telat.”
Aini
menyipitkan mata, memperhatikan Dipta dengan seksama. Menurut pendengarannya,
nada suara Dipta meninggi. Dan dia tidak suka.
“Kamu
minta dingertiin? Dipta, ini bukan keterlambatan kamu yang pertama. Ini udah
yang berulang-ulang kali! Aku cape nunggu kamu. Dulu aku harus nunggu kamu yang
nggak tau kembali atau nggak. Sekarang aku harus nunggu kamu yang nggak tau
datang apa nggak!”
Aini
mulai membentak. Beruntung, alunan musik yang keras membuat suara Aini tidak
akan terdengar walau hanya pada radius dua meter.
“Kamu
telat anter aku, kamu telat jemput aku, kamu telat dateng kencan! Aku coba
ngertiin, tapi ini udah berulang-ulang kali. Kamu nggak bisa nyepelein penerimaan
maaf dari aku gitu aja!”
Emosi
Aini memuncak dan tanpa diduga, Dipta memukul meja sampai gelas Aini bergetar.
“Sejak
kapan kamu jadi egois kaya gini? Aini yang dulu selalu ngertiin aku. Nggak
pernah marah-marah, selalu punya senyum yang dibagi bahkan saat aku menyebalkan
sekalipun!”
“Sejak
kapan juga kamu jadi egois kaya gini? Dipta yang dulu selalu ngertiin dan nggak
pernah minta dingertiin. Nggak pernah marah-marah, selalu punya hal lucu untuk
membuat aku ketawa!”
Aini
dan Dipta saling tatap. Kedua tangan Dipta menggenggam udara dengan penuh
amarah, sedangkan tangan Aini bergetar, yang disembunyikan di bawah meja. Suasana
semakin panas, lagu-lagu romantis yang sedang mengalun tak meluluhkan hati
Aini dan Dipta.
“Yaudahlah
aku cape! Mending aku pulang, tidur, daripada di sini! Bikin pusing!”
Dipta
bergegas pergi, meninggalkan Aini dengan wajah shock. Doko yang sedang bernyanyi tersentak melihat punggung Dipta
menjauh, lalu memandang mata Aini yang berkaca-kaca. Segera setelah lagu
berakhir, Doko berlari menghampiri sahabatnya.
“In,
ada apa??”
Doko
duduk di samping Aini yang segera memeluknya dan menumpahkan air mata. Aini
menangis selama lima belas menit dan Doko membiarkannya meski khawatir pada
pandangan orang-orang yang akan mengiranya laki-laki tidak bertanggung jawab. Ia lalu menyerahkan
cokelat Aini yang belum disentuh sejak satu jam yang lalu.
"Miinum cokelat dulu deh.. Cokelat itu menenangkan.”
"Miinum cokelat dulu deh.. Cokelat itu menenangkan.”
Aini
hanya menggeleng lalu menghapus sisa-sisa air mata di wajahnya .
“Cokelatnya
udah dingin. Mungkin sama kaya cinta Dipta. Akhir-akhir ini kita sering berantem.”
Doko
mengrenyitkan dahi, wajahnya menyiratkan tanya yang begitu besar.
“Mungkin
aja karena udah putus lama, perasaan Dipta berkurang. Harusnya aku tau.. Apapun yang udah patah kalau disambung lagi
tetep nggak akan sempurna.”
Aini
menghela nafas, wajahnya terlihat frustasi, Doko yang mulai mengerti inti
ceritanya, hanya mengangguk berpikir.
“In..
Apapun yang udah patah emang nggak akan terihat sempurna lagi, karena pasti lem
perekatnya akan tetap terlihat. Tapi tergantung lem perekatnya, kan? Kalau lem
perekat kalian adalah cinta, yang patah itu memang akan terlihat. Tapi lem
perekat itu akan tetap membuat kalian kokoh dan nggak akan patah lagi.”
Aini
menoleh dengan keheranan pada Doko, lalu tertawa yang cukup ditahan hingga membuat
Doko keheranan.
“Kamu
ngetawain apa?”
“Kamu
kan jomblo, kok bisa ngeluarin kalimat kaya gitu?”
Doko
yang kesal dengan jawaban Aini, mengancam akan menyiram cokelat. Aini kemudian
harus meminta maaf berkali-kali karena Doko sudah mengangkat cangkir di atas
kepalanya.
“Kamu
pernah ngerasain kehilangan seseorang?”
Aini
sudah mulai serius saat cangkirnya sudah di atas meja kembali. Doko membenarkan
posisi duduknya, lalu mengangguk.
“Pernah,
dan rasanya nggak enak.”
Doko
menghela nafas panjang, terlihat mencari-cari keberanian seolah akan menyanyi
di hadapan Paula Abdul. Aini terus menatap Doko, memaksanya untuk membagikan
rasa sakit.
“Aku
pernah jatuh cinta.. sama seorang sahabat waktu SMA. Dia satu-satunya perempuan
yang bikin aku jatuh cinta sampai saat ini. Selama hampir lima tahun ini..”
“Kamu
gila. Lima tahun? Kita berteman cukup lama dan kamu nggak pernah cerita. Kamu
terlihat baik-baik aja sama hidupmu dan kesendirianmu. Terus, kalian pacaran?
Emm... sempat pacaran?”
Doko
menggeleng lemah. “Nggak. Dia nggak pernah tau aku mencintainya. Aku nggak mau
menghancurkan apapun. Persahabatan aku dan dia hancur di awal, ada sedikit
masalah. Kami mengahbiskan dua tahun terakhir di SMA dengan kecanggungan. Hal
yang paling menyedihkan dalam mencintai ternyata bukan kehilangan, tetapi
kehabisan waktu untuk menyatakan cinta.”
“Terus kamu masih mencintai dia?”
“Terus kamu masih mencintai dia?”
Doko
hanya mengangguk tanpa suara. Aini tidak tahu harus berkata apa, maka dia hanya
menepuk bahu sahabatnya.
“Cokelat
panas itu nggak akan dingin kalau kamu jaga untuk tetap panas. Entah kamu
tutupi, atau kamu minum setengah lalu isi lagi cokelat, gula dan air air panas.
Sama kaya cinta, nggak akan meredup kalau kamu tetap jaga untuk tetap bersinar.
Udah malem In, pulang sana..”
Aini
menggeleng, hati kecilnya berbisik Dipta tidak akan meninggalkannya, bahkan
hanya sekadar di sebuah kafe. Doko mengangkat kedua bahunya, menggeser kursi ke
belakang, bersiap untuk tampil lagi meninggalkan Aini yang larut dalam
pikirannya sendiri.
***
Doko yang sedang berdiskusi lagu selanjutnya dengan
rekannya, kemudian tersenyum melihat Dipta sudah membawa setangkai bunga mawar
berdiri di belakang Aini. Aini kemudian kebingungan melihat Doko yang tersenyum-senyum ke arahnya, menengok sekeliling lalu mendapati Dipta sudah berdiri di
sampingnya. Tersentak, Aini lantas memeluk Dipta erat.
“Dipta! Jangan
pernah tinggalin aku, Dip.. Aku sayang sama kamu..”
"Aku lebih sayang sama kamu. Nggak bisa ninggalin kamu lagi. Maaf tadi aku pergi gitu aja.. Sejauh apapun aku pergi, aku akan selalu kembali untuk kamu."
Seluruh
pengunjung yang melihat mereka lantas bersorak dan berteriak bertepuk tangan.
“She says,
"Yeah, he's still coming, just a little
bit late
He got stuck at the laundromat washing his cape
She's just watching the clouds roll by and they
spell her name like Lois Lane
And she smiles, ooooooh the way she smiles..”
Doko
tiba-tiba bernyanyi tanpa musik, membuat Aini melepas pelukannya lalu tertawa dengan lagu yang dinyanyikan. Kemudian mengambil tempat duduk dan memberi isyarat agar Doko menyanyikan keseluruhan lagunya.
“Aini,
aku minta maaf. Maaf kalau belakangan ini aku selalu telat anter kamu, aku
selalu telat jemput kamu, aku selalu telat datang kencan. Tapi aku nggak pernah
mau terlambat lagi dalam menyadari kamu begitu berharga.”
Dipta memberikan bunga mawar, membuat wajah Aini memerah. Air mata Aini menetes lagi kali ini, tetapi wajahnya penuh kebahagiaan.
“Dipta,
aku juga minta maaf. Maaf kalau aku nggak sabar nunggu kamu anter aku, nggak
sabar nunggu dijemput kamu, nggak sabar nuggu kamu datang kencan. Tapi aku mau
bilang kalau nggak akan pernah nggak sabar dalam nunggu kamu datang. Aku sudah menemukan seseorang yang memang harus aku tunggu.”
“She’s
dancing with strangers, falling apart,
Waiting
for Superman to pick her up.
In
his arms, In his arms.. Waiting for Superman..”
Lagu
yang dinyanyikan Doko memenuhi seluruh ruangan. Mata Aini dan Dipta terus
saling menemukan, dengan senyum mengembang yang tak pernah lelah.
“Aku akan selalu sabar untuk nunggu kamu, supermanku.”
“Kenapa
superman? Kenapa nggak malaikat bersayap? Lebih romantis, tauuu..” Dipta protes
dan memasang wajah ngambek.
“Ah,
malaikat bersayap mainstream. Kamu selalu
datang untuk menolong saat aku kesusahan, kamu selalu datang untuk menghibur
saat aku sedih, dan kamu selalu datang untuk mewarnai hariku di saat aku bahagia.
kamu selalu datang di saat yang tepat, seperti superman..”
“Tapi
tetep aja..” Dipta memasang wajah protes yang tidak menyebalkan.
Aini
mengenggam tangan Dipta lebih erat. “Apa bedanya sih, malaikat bersayap sama
superman? Dua-duanya biasa bawa aku terbang..”
Dipta
tertawa dengan gombalan Aini. Sebelumnya, Aini tidak pernah penuh rayuan. Aini dan
Dipta tahu, perjalanan mereka masih sangat panjang. Tetapi mereka percaya cinta akan
membuat mereka tetap utuh meski pernah patah. Aini dan Dipta sudah menemukan alasan berpijak berdua di bumi. Untuk segala kekecewaan atau amarah yang menggebu-gebu dan untuk segala perbedaan yang terbuka lebar: Cinta
yang cukup.
“Untuk Doko, Hal yang paling menyedihkan dalam mencintai adalah kehabisan waktu untuk menyatakan cinta. Tetapi bagi Aini, hal yang paling menyedihkan ketika Dipta tak punya cinta yang hangat lagi untuk Aini. Seperti cokelat hangat, yang dingin pada akhirnya.”
***The End***
Paling banyak dibaca
[ REVIEW ] My Mister: Terima Kasih Ahjussi dan Lee Ji An
- Get link
- X
- Other Apps
[ REVIEW ] Drama Korea A Love So Beautiful Buat Shin Sol-I dan Cha Heon
- Get link
- X
- Other Apps
[ Review ] Drama Korea Itaewon Class: Menjadi Tim Oh Soo Ah
- Get link
- X
- Other Apps
[ REVIEW ] Drama Korea School 2015: Who Are You setelah 7 Kali Menonton
- Get link
- X
- Other Apps
Backpacker ke Singapura - Malaysia dan Hal-hal yang Harus Disiapkan
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Berikan komentarmu untuk tulisan ini, yuk! Btw kalau mau komen bisa lewat PC ya :)