Highlight
- Get link
- X
- Other Apps
Labels
Dua Puluh Satu Untuk Yang Ada Selalu
“Elga.”
“Hah?”
“Elga.”
“Oh..”
“Kamu
siapa?”
“Febri.”
“Hah?”
“Febri.”
“Oh..”
Matahari Bulan Juli sedikit sensitif. Panasnya membara layaknya perempuan yang cemburu pada
kekasihnya yang berjarak. Aku mengelap keringat yang terus mengucur di wajah
sementara suara kepala sekolah terus bergema memanggil nama seluruh siswa baru.
Namaku sendiri dipanggil ketika sudah memasuki urutan seratus. Dikelilingi tidak
sedikit wajah-wajah asing, hanya Febri yang menyapaku terlebih dahulu. Kami mengeluh
bersama tentang matahari, suara yang tak kunjung berhenti, sesekali bertanya
kehidupan pribadi seperti asal SMP.
“Silakan
setiap kelompok mengikuti mas mbak yang ada di depan.”
Aku
megembuskan napas lega. Selain panas menusuk-nusuk kulit, kaki sudah memberontak
karena berdiri dalam jangka waktu yang lama. Meski sering melewati SMA 2, aku tidak tahu seperti apa di dalamnya. Sepanjang perjalanan menuju kelas, aku
hanya sibuk mengamati apa saja yang dilalui. Febri melakukan hal yang sama,
kami sama-sama tidak bersuara dan membiarkan sepatu yang membuat bunyi. Kami
masuk dalam ruangan yang bertuliskan “Bahasa Indonesia” dengan papan di atas
pintu. Bergegas mencari tempat duduk dan diam-diam aku merasa beruntung sempat
berkenalan dengan Febri sehingga tidak perlu repot menengokkan kepala ke kanan
dan ke kiri. Setelah diberikan pengarahan tentang ospek, kami diberi waktu beberapa hari untuk menyiapkan
diri serta peralatan.
***
“Feb,
kamu duduk dimana?”
“Disana”
Aku
tertegun beberapa saat. Febri menjawab pertanyaanku dengan wajah tidak ramah. Selama
beberapa waktu, aku menimbang-nimbang untuk mencari tempat duduk lain. Namun tidak
ada pilihan, maka dengan ragu-ragu aku meletakkan tas di sebelah Febri. Tetapi dalam
beberapa jam kemudian keraguanku pudar. Febri sudah terlihat lebih ramah dan
sangat sabar menanggapi kegelisahan-kegelisahanku. Ospek selama tiga hari
kulalui dengan kepanikan-kepanikan tak wajar. Aku sadar mungkin membuat Febri
kesal dengan celotehan-celotehan tak bermutu yang kulontarkan, tetapi aku tidak
bisa berhenti. Bahkan aku merasa sial ketika akan mengikuti baksos satu hari
setelah ospek selesai karena tidak satu kelompok dengan Febri. Selama tiga
hari, Febri yang berdiri disampingku dan berlari bersamaku. Membantu
menghabiskan makan siang dan mengejar kakak-kakak OSIS bersama.
***
Setelah
baksos usai, proses belajar mengajar dimulai. Aku dan Febri kembali duduk
bersama. Sebenarnya aku agak sedikit mengeluh karena Febri selalu memilih tempat duduk di
baris kedua sedangkan aku terbiasa duduk di belakang. Namun dengan kacamata
yang dipakainya, rasanya mustahil mengajaknya duduk di belakang. Wajahnya selalu
disembunyikan di balik buku. Aku sibuk mengamati situasi di luar melalu
jendela, Febri akan sibuk mencatat materi-materi di depan dan mengerjakan soal-soal
latihan. Beruntung ada Manda yang duduk di belakangku dan dia terlihat memiliki
pikiran yang sama denganku. Kami sering menertawakan banyak hal sedangkan Febri
hanya manatap sinis dari balik kacamatanya.
“Kalian
kok aneh sih. Yang nggak lucu kalian ketawa. Yang lucu kalian malah nggak
ketawa.”
Febri
tiba-tiba berbicara setelah puas tertawa karena seorang guru membuat lawakan
yang menurutku dan Manda tidak lucu. Aku dan Manda hanya saling memandang,
karena bagi kami tidak ada yang lucu sama sekali. Sejak saat itu kami menjaga
jarak dengan Febri. Namun seiring hari berlalu, materi-materi pelajaran semakin
berat. Mengusung Rancangan Sekolah berstandar Internasional, modul-modul yang
kami miliki semua berbahasa Inggris. Kami mengeluh habis-habisan, dalam bahas
Indonesia saja kami belum tentu bisa, apalagi dengan seluruh modul bahasa
Inggris dengan standar tinggi. Aku hanya terkesima setiap memandang soal-soal
yang sama sekali tak bisa dikerjakan. Ketika menengok ke belakang dan melihat
Manda yang terlihat frustasi membuatku sedikit terhibur. Febri masih bertahan
dengan aktifitasnya, mencoret-coret kertas dan tampak sangat berusaha. Namun manusia
akan mencapai titik jenuh, aku lupa bagaimana tiba-tiba Febri melupakan buku,
pensil dan kertas-kertasnya dan mulai menengok ke arahku. Aku tidak ingat
bagaimana tiba-tiba Febri bergabung dengan aku dan Manda, melupakan
pelajaran-pelajaran dan membahas hal-hal yang tidak penting.
“Feb,
Feb, ada kakak kelas manis banget! Anak IPS 1!”
Aku
menyeret Febri untuk melihat kakak kelas yang sudah beberapa hari kuamati.
Febri yang kini sudah mulai bertingkah aneh sepertiku, turut mengamini
perkataanku. Sejak hari itu, aku dan Febri senang mencari-cari kesempatan di
sela-sela moving class untuk melihat
kakak kelas yang kami ketahui bernama Brian. Dalam suatu waktu, aku menjadi tim
OSN dan bergabung dengan kakak-kakak kelas dari IPS 1, teman sekelas Brian. Dibandingkan
aku, Febri lebih serius menyukai Brian. Maka aku mendekati kakak kelas bernama
Putra, meminta nomor handpone Brian dengan Febri sebagai alasan. Karena terlalu
sering berbicara dengan Putra, akhirnya aku menyuruh Febri menghubungi Brian
dan aku memilih Putra.
“Feb,
tanyain Brian sih nomernya Putra.”
“Lah tanya
sendiri, kan kamu udah akrab.”
“Ya kan
ngobrolin kalian. Nggak ngobrol kesana-sana.”
“Jadi
kamu nanyain nomernya Brian ke Putra, aku nanyain nomernya Putra ke Brian?’
Melihat
kejanggalan, aku dan Febri tertawa terbahak-bahak.
Beberapa
hari setelah Febri dan Brian serta aku dan Putra saling mengirim pesan, gosip
tersebar. Setiap aku dan Febri muncul dihadapan mereka, sorakan akan terdengar
sampai jarak lima meter. Hingga puncaknya, sahabat Brian dan Putra mendatangi
kelas kami saat pulang sekolah. Febri beruntung karena sudah pulang lebih
dahulu sedangkan aku yang menerima makian karena sahabatnya tidak suka dengan
kami. Sesampainya di rumah aku menelepon Febri dan kami menjadi kalang kabut.
Pada
akhirnya, kisah cinta kami berakhir dengan tidak mulus. Febri sedikit lebih sial,
karena Brian akhirnya berpacaran dengan teman di kelas barunya. Tetapi justru
kami menertawakan hal itu. Lagipula, saat naik kelas dua kami tidak lagi satu
kelas dan menemukan kisah cinta baru dengan laki-laki baik hati.
***
Persahabatanku
dan Febri banyak diisi dengan kekonyolan. Febri yang awalnya rajin, semakin
lama meninggalkan buku-buku pelajaran. Otaknya yang sering di isi dengan angka,
perlahan-lahan hanya di isi dengan pikiran remaja seperti nongkrong dan
cinta-cintaan. Namun sebenarnya, Febri tetaplah Febri yang polos dan lugu namun
sial karena bertemu orang-orang sepertiku di sekelilingnya. Febri yang lalalolo,
Febri yang tidak pernah bisa marah.
Selamat
ulang tahun ke 16, Febri.
Selamat
ulang tahun ke 17, Febri.
Selamat
ulang tahun ke 18, Febri.
Selamat
ulang tahun ke 19, Febri.
Selamat
ulang tahun ke 20, Febri.
Selamat
ulang tahun ke 21, Febri.
Ini
kali ke enam aku mengucapkan selamat ulang tahun. Selama itu pula aku dan Febri
tidak pernah putus persahabatan. Kami yang duduk bersama selama satu tahun
penuh, mengalami suka dan duka bersama-sama. Menjalani remidi bersama-sama.
Korupsi uang modul bersama-sama dan bingung membayarnya bersama-sama juga.
Sepanjang kelas satu SMA, aku dan Febri tidak pernah berhenti mengirim sms sejak
pulang sekolah sampai larut malam untuk membahas berbagai hal meski kami
bertemu setiap hari. Aku beruntung menemukan Febri. Aku bahkan terlalu malu
untuk mengucapkan terima kasih pada Febri karena tidak pernah pergi di saat
semua orang menjauh di kelas satu SMA. Terima kasih, karena sudah berdiri,
berjalan dan berlari bersamaku di kelas satu SMA.
Meski
tidak pernah berada di kelas yang sama lagi sejak kelas dua SMA, walaupun
sahabat-sahabat baru terus datang silih berganti, persahabatanku dan Febri
tidak pernah terganti. Meski tidak rutin mengirim sms seperti saat kelas satu
SMA, kami masih sering mengabari dan saling menghubungi jika ingin bercerita. Kami
tidak pernah benar-benar melupakan meski kegiatan di kelas masing-masing
membuat sibuk. Meski tidak saling mempengaruhi lagi, kami masih saja bertemu di
ruang remidi hingga kelas tiga SMA berakhir dan aku sadar Febri benar-benar
sahabatku. Enam tahun bukan rentang waktu yang sekejap, karena kenangan tercipta dimana-mana. Febri selalu ada saat aku ada posisi tersulit, saat aku membutuhkan pertolongan, saat aku memerlukan tempat berbagi, dan selalu turut tersenyum saat aku merasa bahagia. Febri adalah sahabat yang tepat.
Selamat ulang tahun, Febri.Doa-doa baikku berserakan untukmu, tetapi aku tahu Tuhan akan mengabulkan satu dua doaku sesuai dengan kebutuhanmu.
Paling banyak dibaca
[ REVIEW ] My Mister: Terima Kasih Ahjussi dan Lee Ji An
- Get link
- X
- Other Apps
[ REVIEW ] Drama Korea A Love So Beautiful Buat Shin Sol-I dan Cha Heon
- Get link
- X
- Other Apps
[ Review ] Drama Korea Itaewon Class: Menjadi Tim Oh Soo Ah
- Get link
- X
- Other Apps
[ REVIEW ] Drama Korea School 2015: Who Are You setelah 7 Kali Menonton
- Get link
- X
- Other Apps
Backpacker ke Singapura - Malaysia dan Hal-hal yang Harus Disiapkan
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Berikan komentarmu untuk tulisan ini, yuk! Btw kalau mau komen bisa lewat PC ya :)